Dari pengalaman Sejarah Singkat Indonesia dalam menjalani sistem negara federal,
maka dapat disimpulkan bahwa sistem federal belum optimal kita anut.
Sayangnya, intervensi politik Belanda saat itu masih kental sehingga,
sehingga bangsa Indonesia terlanjur “alergi” terhadap federalisme. RIS
harus mengalami kegagalan, tanpa diberikan kesempatan untuk hidup lebih
lama.
Perdebatan yang muncul sekarang mengenai sistem negara federal dengan
mengikutkan sentimen akan terpecah belahnya kesatuan Indonesia, apalagi
bila menyertakan “romantisme” usang masa lalu akan politik
memecah-belah penjajah Belanda, dapat penulis katakan sebagai alasan
usang dan tidak proporsional
Sejujurnya, kita tidak perlu takut mengadopsi sistem federal karena memang kita sudah halfway succeeded mengimplementasikan
desentralisasi dan dekonsentrasi yang fair antara pusat dan lokal. Dan
lagi, pada hakekatnya belum ada satu negara federal kuat (Amerika
Serikat, Jerman, dan Malaysia) yang pemerintah pusatnya tidak dominan,
seperti halnya pemerintah pusat di negara unitarian seperti Indonesia.
Hal ini akan mematahkan argumen bahwa jika negara federasi terbentuk,
maka pemerintah pusat akan kehilangan ‘gigi’ dalam menjaga stabilitas
politik nasional.
Euphoria memerdekakan diri sebagai akibat dari pemberlakuan sistem
federal justru akan menemui ketidakrelevanannya, karena saat itulah
daerah harus berpikir keras akan kesiapan mereka bila mengkhianati
konsensus bersama derah lain membentuk negara federasi. Artinya, tugas
pemerintah pusat adalah memberikan dukungan demi kemandirian pemerintah
lokal, bukan menakut-nakuti dengan ancaman disintegrasi. Artinya
pilihan bangunan negara wajib membuka peluang kemandirian daerah dan
konsekuensi yang dihasilkanpun bukan serta merta melahirkan pemerintah
lokal yang ‘mbalelo’ pada pusat, melainkan pemerintah lokal yang memiliki bargaining power cukup
demi membela kepentingan rakyat di daerah. Dengan demikian penulis
sangsi bahwa bangunan negara federasi Indonesia kelak harus melalui
tahap perpecahan dulu dalam bentuk negara-negara kecil, namun justru
sebaliknya, pemerintah pusat dan daerah bekerja sama meneruskan bangunan
otonomi daerah yang lebih bertanggung jawab.
Demi membangun otonomi daerah yang bertanggung jawab dan demi
membangun tatanan bangunan negara baru tersebut, langkah selanjutnya
adalah membuang jauh-jauh sentimen terhadap gerakan separatisme, karena
pada hakekatnya isu separatisme telah hidup puluhan tahun setua umur
republik ini. Separatisme muncul karena ada kepentingan minoritas yang
terabaikan pemerintah pusat.
Mengingat konsep kekuasaan dari rakyat untuk rakyat yang sepertinya
lebih banyak ditawarkan oleh sistem federal, maka tidak ada salahnya
mencoba kembali pemberlakuan sistem federal. Namun demikian, bercermin
pada pengalaman RIS di masa lalu, perlu kita sadari bersama bahwa
pemberlakuan sistem federal harus didasari oleh pengkajian lebih dalam.
Untuk sementara waktu, pemerintah harus bersikap tegas dalam usahanya
mengakomodasi kepentingan minoritas tanpa harus mengorbankan
kepentingan nasional. Jangan sampai pemerintah kemudian terjerumus
dalam konflik etno-regional lebih dalam yang justru mengesampingkan
kenyataan bahwa masih banyak rakyat kelaparan.
Hal inilah yang justru dapat mendatangkan malapetaka lebih besar yaitu
runtuhnya bangunan NKRI oleh karena banyaknya rakyat lapar dan marah
daripada berdebat ‘kusir’ tentang keniscayaan negara federasi.
Post a Comment