News Update :

Catwidget3

Catwidget4

topads

Hot News »
Bagikan kepada teman!

Cepat atau Lambat, Akan Jadi Tersangka

Penulis : Isdariana Agustin on Saturday, April 6, 2013 | 3:22 AM

Saturday, April 6, 2013

Data / materi untuk memproses Ibas menjadi tersangka sudah ada di tangan KPK, tinggal KPK-nya saja yang menentukan kapan gelar perkara itu akan dibuat.  Biar bagaimanapun KPK punya wewenang untuk menentukan kapan gelar perkara Ibas itu dilaksanakan.  Kita tunggu sajalah, tahu sendiri  KPK kan nggak bisa diintervensi dan cepat atau lambat Eddy Baskoro Yudhoyono (Ibas) akan menjadi tersangka Hambalang.

Pada acara ILC di TV one semalam, rencananya Anas akan dihadirkan melalui telekonferens, tapi ternyata Anas tidak hadir.  Tadinya diharapkan Anas akan buka-bukaan untuk lembaran ke dua atau ketiga, setelah halaman pertamanya menyangkut dirinya sendiri.  Walaupun Anas tak hadir, namun pembicaraann semalam jelas mengarah ke Ibas sebagai halaman keduanya, halaman selanjutnya mungkin Budiono (Wapres), Sri Mulyani (mantan Menkeu), atau bahkan SBY.

Ibas yang sebelumnya masih berkomunikasi dengan Anas, kini sudah tidak lagi berhubungan.  Ini persis seperti kasus Nazar dengan Anas.  Nanti giliran Anas yang akan dikatakan sedang berhalusinasi oleh Ibas.  Tapi Anas tidak  akan bernyanyi seperti Nazar.  Anas lebih banyak diamnya sambil menyerahkan berkas materi “sprindik” ke KPK dan teman-temannya di DPR.  Kemarin saja, salah seorang anggota DPR itu ada yang memegang materinya, ia menyebutkan ada orang-orang besar di Partai Demokrat yang bakal segera dijadikan tersangka.  Wah berarti itu ada yang membocorkan dong.  Nyata, sebetulnya materi itu sudah lama ada, cuma KPK nya saja yang tidak/ belum memprosesnya.  Bahan/ materi itu asalnya dari ocehan Nazar, jadi bukan rahasia lagi bahwa orang besar di Demokrat yang akan segera jadi tersangka itu adalah Ibas.

Siapa yang memberi materi itu ke anggota DPR tersebut, materi yang berisi tentang lembar kedua nya Anas.  Mungkin saja Anas yang memberinya, atau bisa saja pengacaranya Nazar.  Tampaknya materi itu harus dibuka di media, agar KPK menjadi gerah dan segera menjadikan tersangka orang besar di Demokrat itu.  Siapa orang besar tersebut, kita juga akan mudah menebaknya.  Ibas lah orangnya.  Karena, Ibas lah yang sering disebut oleh Nazar ketika baru ditangkap.  Belakangan, nama Ibas agak kurang disebut-sebut oleh Nazar.  Memang harus satu orang per satu orang, menunggu giliran.  Tidak bisa sekaligus menjadikan semua tersangka.  Kata Nazar, negara ini akan hancur berantakan kalau semua dibuka sekaligus, maka dari itu dibuka satu per satu.  Kata pengacara Nazar, Elsa Syarif, kita harus sabar membukanya.  Kalau dibuka sekaligus malah Nazar yang kelihatannya tidak betul, tetapi dengan dibuka satu per satu, akan kelihatan siapa yang bohong siapa yang betul.

Setelah Nazar jadi tersangka, menyusul Angie, AAM, Anas, kemudian siapa lagi kalau bukan Ibas.  Mereka semua pasti tahu kemana aliran dana Hambalang yang 1,2 Trilyun itu mengalir.  Nazar (bendahara umum PD),  Angie (wakil bendahara umum PD), AAM (sekretaris dewan pembina PD), Anas (Ketua Umum PD), maka mustahil lah kalau Ibas(sekretaris jenderal PD) tidak mengetahui dan tidak kecipratan duit Hambalang itu.
comments | | Read More...

Kenapa RIS Gagal

Penulis : Isdariana Agustin on Wednesday, April 3, 2013 | 10:07 PM

Wednesday, April 3, 2013

Dari pengalaman Sejarah Singkat Indonesia dalam menjalani sistem negara federal, maka dapat disimpulkan bahwa sistem federal belum optimal kita anut.  Sayangnya, intervensi politik Belanda saat itu masih kental sehingga, sehingga bangsa Indonesia terlanjur “alergi” terhadap federalisme. RIS harus mengalami kegagalan, tanpa diberikan kesempatan untuk hidup lebih lama.

Perdebatan yang muncul sekarang mengenai sistem negara federal dengan mengikutkan sentimen akan terpecah belahnya kesatuan Indonesia, apalagi bila menyertakan “romantisme” usang masa lalu akan politik memecah-belah penjajah Belanda, dapat penulis katakan sebagai alasan usang dan tidak proporsional

Sejujurnya, kita tidak perlu takut mengadopsi sistem federal karena memang kita sudah halfway succeeded mengimplementasikan desentralisasi dan dekonsentrasi yang fair antara pusat dan lokal. Dan lagi, pada hakekatnya belum ada satu negara federal kuat (Amerika Serikat, Jerman, dan Malaysia) yang pemerintah pusatnya tidak dominan, seperti halnya pemerintah pusat di negara unitarian seperti Indonesia. Hal ini akan mematahkan argumen bahwa jika negara federasi terbentuk, maka pemerintah pusat akan kehilangan ‘gigi’ dalam menjaga stabilitas politik nasional.

Euphoria memerdekakan diri sebagai akibat dari pemberlakuan sistem federal justru akan menemui ketidakrelevanannya, karena saat itulah daerah harus berpikir keras akan kesiapan mereka bila mengkhianati konsensus bersama derah lain membentuk negara federasi. Artinya, tugas pemerintah pusat adalah memberikan dukungan demi kemandirian pemerintah lokal, bukan menakut-nakuti dengan ancaman disintegrasi.  Artinya pilihan bangunan negara wajib membuka peluang kemandirian daerah dan konsekuensi yang dihasilkanpun bukan serta merta melahirkan pemerintah lokal yang ‘mbalelo’ pada pusat, melainkan pemerintah lokal yang memiliki bargaining power cukup demi membela kepentingan rakyat di daerah. Dengan demikian penulis sangsi bahwa bangunan negara federasi Indonesia kelak harus melalui tahap perpecahan dulu dalam bentuk negara-negara kecil, namun justru sebaliknya, pemerintah pusat dan daerah bekerja sama meneruskan bangunan otonomi daerah yang lebih bertanggung jawab.

Demi membangun otonomi daerah yang bertanggung jawab dan demi membangun tatanan bangunan negara baru tersebut, langkah selanjutnya adalah membuang  jauh-jauh sentimen terhadap gerakan separatisme, karena pada hakekatnya isu separatisme telah hidup puluhan tahun setua umur republik ini.  Separatisme muncul karena ada kepentingan minoritas yang terabaikan pemerintah pusat.

Mengingat konsep kekuasaan dari rakyat untuk rakyat yang sepertinya lebih banyak ditawarkan oleh sistem federal, maka tidak ada salahnya mencoba kembali pemberlakuan sistem federal.  Namun demikian, bercermin pada pengalaman RIS di masa lalu, perlu kita sadari bersama bahwa pemberlakuan sistem federal harus didasari oleh pengkajian lebih dalam.

Untuk sementara waktu, pemerintah harus bersikap tegas dalam usahanya mengakomodasi kepentingan minoritas tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional.  Jangan sampai pemerintah kemudian terjerumus dalam konflik etno-regional lebih dalam yang justru mengesampingkan kenyataan bahwa masih banyak rakyat kelaparan. Hal inilah yang justru dapat mendatangkan malapetaka lebih besar yaitu runtuhnya bangunan NKRI oleh karena banyaknya rakyat lapar dan marah daripada berdebat ‘kusir’ tentang keniscayaan negara federasi.
comments | | Read More...

Konsep Negara Yang Gagal

Menurut hasil penelitian Adnan Buyung Nasution (2000), konsep federalisme pertama kalinya diperkenalkan oleh Ritsema van Eck, Kepala Kehutanan di Jawa pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Saat itu konsep Ritsema yang juga mengikutsertakan nasib kelompok etnis luar Indonesia di bawah kekuasaan kerajaan Belanda, Curacao dan Suriname,  dipertanyakan oleh Prof. Van Vollenhoven, Prof. Snouck Hurgronje, dan Prof. Colenbrader, yang intinya mengatakan bahwa ide Ritsema hanyalah untuk memenuhi maksud Belanda untuk meningkatkan kekuatannya dengan membagi Indonesia ke dalam kelompok-kelompok etnis.  Nasution mengatakan bahwa perdebatan tentang konsep negara federal di Indonesia tidak surut, malah terus berkembang sejalan dengan perkembangan detik-detik bersejarah menjelang kemerdekaan Indonesia.

Selanjutnya Nasution menguraikan adanya 4 tahap perdebatan mengenai konsep negara federal di Indonesia, yaitu:

Pertama, menjelang pembuatan konstitusi, UUD 1945, ketika perdebatan terjadi dalam Badan Penyidik Urusan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ketika itu Muhammad Yamin tidak sependapat dengan ide federalisme karena hanya akan mengantarkan Indonesia ke dalam pengkotakan wilayah berdasarkan provinsi yang kemudian dapat memicu pecahnya kesatuan bangsa Indonesia.  Pada saat itu, perdebatan antara pilihan negara kesatuan dengan negara federal tidak terlalu keras, Muhammad Hatta dan Latuharhary pengusung ide negara federal tidak banyak angkat bicara.

Kedua, perdebatan muncul pada saat negosiasi antara pemerintah Belanda dan Indonesia dalam memperjuangkan nasib kedaulatan Indonesia selanjutnya.  Para pengusung ide negara federal berargumen bahwa sistem federal memungkinkan setiap wilayah untuk mendapatkan kesempatan untuk membangun sistem pemerintahan yang sesuai dengan keunikan budaya dan latar belakang etnis mereka.  Pada akhirnya, perdebatan mencapai puncak ketika Indonesia menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang hanya bertahan 3 ½ tahun lamanya (1946-1949.

Ada 2 alasan kegagalan RIS yang memiliki 17 negara bagian yang dikemukakan Nasution: (1) Indonesia merasa dikhianati oleh Gubernur Jenderal Belanda Van Mook, karena pendirian negara miniatur di luar federasi: Pasundan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bangka, Belitung, di luar kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Belanda, dan (2) tulisan Dr. Anak Agung Gde Agung, tokoh pemimpin dari wilayah Timur Indonesia, berisikan mengenai tiga setengah tahun pelaksanaan federalisme di wilayah Timur Indonesia ternyata gagal memberikan hasil memuaskan.

Ketiga, perdebatan muncul di Dewan Konstituante antara tahun 1956 sampai tahun 1959. Perdebatan sangat tajam muncul di tahun 1957 ketika semua kekuatan politik dan partai dari berbagai ideologi politik menyatakan pendapatnya mengenai sistem negara.  Sentimen memunculkan Van Mook masih hangat diperdebatkan, walaupun juga ada beberapa bagian dari sistem federal yang diterima oleh pendukung negara kesatuan.  Akan tetapi, Dewan Konstituante kembali gagal mencapai kesepakatan, dengan partai besar seperti PNI, PKI, dan lainnya seperti Murba, IPKI, GPPS terlibat perdebatan sengit mematahkan argumen teoritis akan keberadaan negara federal.  Partai pendukung ide negara federal seperti, Masyumi, PSII, Partai Buruh, dan Parkindo ternyata harus mengalah.  Pada akhirnya negara kesatuan disepakati sebagai pilihan dengan beberapa persyaratan, seperti: (1) penegakan demokrasi lebih berguna untuk meredam ketidakpuasan di berbagai daerah, melawan ketidakadilan, dan menghindari sentralisasi yang tidak seimbang, dan (2) wilayah-wilayah sedapatnya akan diberikan otonomi seluas-luasnya.

Keempat, perdebatan yang berupa wacana negara federal kembali dialamatkan ketika Orde Baru gagal mengakomodasi kebutuhan masyarakat di wilayah Indonesia terluar.  Perdebatan semacam ini, menurut Nasution, serupa dengan apa yang dikemukakan pada saat dengar pendapat dalam rapat Dewan Konstituante.  Masalah seperti, sentralisasi kekuasaan secara berlebihan, kesenjangan ekonomi antar wilayah, dan aneka macam ketidakadilan, selalu terdengar dalam setiap perdebatan anggota Dewan.  Satu hal yang memang perlu mendapat perhatian yaitu masalah gaya hidup komunal yang timbul akibat federalisme, dimana akan terdapat sentimen anti orang asing yang akan menimbulkan penolakan terhadap masuknya orang luar bukan berasal dari daerah tertentu. Nasution berpendapat bahwa kekhawatiran semacam ini bila terjadi akan berujung pada kekisruhan sosial dan politik.

Dugaan penulis sementara, munculnya perdebatan pertama didasari oleh semangat BPUPKI saat itu masih dalam rangka memperjuangkan persatuan dan kesatuan bangsa demi kemerdekaan, sehingga bentuk negara republik kesatuan menjadi pilihan.  Hal ini sejalan dengan pendapat Lalande yang mengatakan bahwa pilihan bangunan negara kesatuan merupakan konsekuensi dari negara yang masih berjuang melawan penjajah, sehingga kepentingan bersama perlu diutamakan daripada kepentingan kelompok atau golongan tertentu.

Sedangkan pada perdebatan kedua, penulis berpendapat bahwa pada masa pemerintah RIS, ada satu momentum penting sejarah yang masih terbawa sampai saat ini.  Dimana berdirinya RIS merupakan suatu kesalahan wajar para pendiri bangsa yang belum berpengalaman, sehingga luput memperhitungkan faktor-faktor kesiapan sumber daya dan institusi menuju sistem federal.  Akibatnya, terlepas dari maksud terselubung pemerintah kolonial Belanda untuk kembali menguasai Indonesia, negara RIS masihlah sangat prematur, belum cukup menghirup udara kebebasaan untuk kemudian cukup kuat berjalan sendiri.

Pada perdebatan ketiga, Negara Republik Indonesia saat itu bergelut dengan ketidakberdayaan Dewan Konstituante dalam menghasilkan Konstitusi baru. Secara tidak langsung, semangat pembaharuan elit bangsa dalam menata kelembagaan negara yang masih ‘prematur’ selalu dilandasi dengan semangat keterbukaan, sekalipun perubahan tersebut akan berdampak pada terhadap perubahan UUD’45. Amat disayangkan, perdebatan teoritis tentang berlakunya sistem federal tersebut menemui jalan buntu.  Penulis berkeyakinan bahwa pengaruh munculnya gerakan separatis di berbagai daerah membuat partai-partai besar semisal PNI, PKI, dan lainnya khawatir bahwa pilihan negara federal hanyalah mempertajam konflik etno-regional ketimbang memperjuangkan kepentingan bersama.

Sedangkan perdebatan terakhir, menurut penulis amatlah tidak proporsional karena pangkal masalah kemustahilan pemberlakuan negara federasi di masa Orde Baru hanya dilandasi oleh kekhawatiran semata akan lahirnya stigma penduduk asli (putra daerah) dan pendatang.  Padahal sistem federal menawarkan konsensus baik dalam hal pemerataan ekonomi maupun perlakuan adil terhadap kaum minoritas.  Justru, gaya ultra-sentralistis pemerintah Orde Barulah yang menajamkan konflik antara penduduk asli yang tersingkir dengan kaum pendatang yang secara ekonomi biasanya lebih kuat.

Oleh : Rico Hermawan
comments | | Read More...

Negara Republik Indonesia (RIS)

Penulis : Isdariana Agustin on Monday, April 1, 2013 | 6:57 PM

Monday, April 1, 2013

Negara Republik Indonesia adalah salah satu bagian dari Republik Indonesia Serikat yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 . NRI juga menjadi pusat dari RIS karena Ibukota Jakarta ada di Wilayah NRI . Karena Presiden Soekarno menjadi Presiden RIS maka diangkat Mr.Assaat menjadi Acting Presiden Indonesia dan Mr. Soesanto Tirtoprodjo sebagai Perdana Menteri sebagai hingga pada 17 Agustus 1950 RIS bubar dan berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Assaat melepaskan jabatan kepada Soekarno.

Wilayah

NRI mencakup Wilayah - Wilayah ini :
  • Wilayah Sumatera
  • Wilayah DKI Jakarta
  • Wilayah Banten
  • 90 % Wilayah Sumatera
  • 75 % Wilayah Jawa Tengah
  • Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

Presiden

A# I# Mulai menjabat Selesai menjabat Presiden Foto Partai
1. 1. 27 Desember 1949 17 Agustus 1950 Assaat Assaat PYO.jpg Non-Partisan

Perdana Menteri

A# I# Mulai menjabat Selesai menjabat Perdana Menteri Foto Partai Kabinet
1. 1. 27 Desember 1949 16 Januari 1950 Soesanto Tirtoprodjo Susanto tirtoprodjo.jpg Non-Partisan Kabinet Susanto
A# I# Mulai menjabat Selesai menjabat Perdana Menteri Foto Partai Kabinet
2. 2. 16 Januari 1950 6 September1950 Abdul Halim Abdul Halim.jpg Non-Partisan Kabinet Halim
comments | | Read More...

Konstitusi Republik Indonesia Serikat

Konstitusi Republik Indonesia Serikat, atau lebih dikenal dengan atau Konstitusi RIS adalah konstitusi yang berlaku di Republik Indonesia Serikat sejak tanggal 27 Desember 1949 (yakni tanggal diakuinya kedaulatan Indonesia dalam bentuk RIS) hingga diubahnya kembali bentuk negara federal RIS menjadi negara kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak tanggal 17 Agustus 1950, konstitusi yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, atau dikenal dengan sebutan UUDS 1950.

Sejarah 

Konstitusi Republik Indonesia Serikat disahkan sebagai undang-undang dasar negara berkaitan dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat oleh hasil Konfrensi Meja Bundar, sejak 27 Desember 1949 berdasarkan poin pertama dan kedua. Pemberlakuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tidak serta merta mencabut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena perbedaan ruang lingkup penerapan. Konstitusi Republik Indonesia Serikat berlaku sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 pada Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sosial Republik Indonesia, Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.

Isi Konstitusi

Konstitusi Republik Indonesia Serikat terdiri atas mukadimah, isi dan piagam persetujuan. Isi Konsitusi Republik Indonesia Serikat terdiri atas enam bab dan seratus sembilan puluh tujuh pasal.

Mukadimah

Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat berisi secara ringkas pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menekankan aspek kesatuan, kedaulatan, ketuhanan dan filosofi negara (Pancasila).

Bab 1: Negara Indonesia Serikat

Bab 1 Konstitusi Republik Indonesia Serikat ini terdiri atas enam bagian. Empat bagian pertama merupakan bagian mengenai Bentuk Negara dan Kedaulatan, Daerah Negara, Lambang dan Bahasa Negara serta Kewarganegaraan dan Penduduk Negara. Empat bagian pertama dalam bab 1 Konstitusi Republik Indonesia Serikat menyatakan bahwa:
  1. Negara Indonesia Serikat merupakan negara hukum yang berlandaskan demokrasi dan berbentuk federasi (pasal 1a), yang kedaulatannya dilaksanakan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat (pasal 1b).
  2. Negara Indonesia Serikat meliputi Negara Republik Indonesia berdasarkan Perjanjian Renville, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Distrik Federal Jakarta, Negara Jawa Timur, Negara Madura dan Negara Sumatera Timur dan Daerah-Daerah Otonom (Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat (Daerah istimewa), Dajak Besar; Daerah Bandjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur) (pasal 2).
  3. Bendera kebangsaan Republik Indonesia Serikat adalah bendera Sang Merah Putih (pasal 3 ayat 1), Lagu kebangsaan adalah lagu "Indonesia Raya" (pasal 3, ayat 2) dan Bahasa resmi Negara Republik Indonesia Serikat adalah Bahasa Indonesia (pasal 4).
  4. Pemerintah menetapkan meterai dan lambang negara (pasal 3 ayat 3).
  5. Kewarganegaraan dan pewarganegaraan (naturalisasi) serta Penduduk diatur oleh undang-undang federal (pasal 5, ayat 1 dan 2 dan pasal 6).
Sedangkan, bagian lima dari bab 1 Konstitusi Republik Indonesia Serikat mengatur mengenai Hak dan Kebebasan Dasar Manusia (dengan kata lain Hak Asasi Manusia). Hal-hal yang diatur dalam bagian ini antara lain:
  1. Pengakuan sebagai pribadi terhadap undang-undang (7(1)).
  2. Perlakuan dan perlindungan yang sama atas hukum (equality before the law) (7(2), 7(3) dan 13).
  3. Mendapat bantuan hukum (7(4))
  4. Hak membela diri (7(4))
  5. Perlindungan atas harta benda (8)
  6. Mobilitas (9)
  7. Larangan perbudakan dan aktivitas terkait (10)
  8. Memperoleh perlakuan yang layak (11)
  9. Penahanan dan hukuman, harus dilakukan sesuai aturan-aturan yang berlaku (12 dan 14(b))
  10. Praduga tak bersalah (14(a))

comments | | Read More...

Republik Indonesia Serikat

Republik Indonesia Serikat, disingkat RIS, adalah suatu negara federasi yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.

Republik Indonesia Serikat terdiri beberapa negara bagian, yaitu :
  1. Negara Republik Indonesia (RIS)
  2. Negara Indonesia Timur
  3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
  4. Negara Jawa Timur
  5. Negara Madura
  6. Negara Sumatera Timur
  7. Negara Sumatera Selatan
Di samping itu, ada juga wilayah yang berdiri sendiri (otonom) dan tak tergabung dalam federasi, yaitu:
  1. Jawa Tengah
  2. Kalimantan Barat (Daerah Istimewa)
  3. Dayak Besar
  4. Daerah Banjar
  5. Kalimantan Tenggara
  6. Kalimantan Timur (tidak temasuk bekas wilayah Kesultanan Pasir)
  7. Bangka
  8. Belitung
  9. Riau
Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada 17 Agustus 1950.

Republik Indonesia Serikat memiliki konstitusi yaitu Konstitusi RIS. Piagam Konstitusi RIS ditandatangani oleh para Pimpinan Negara/Daerah dari 16 Negara/Daerah Bagian RIS, yaitu
  1. Mr. Susanto Tirtoprodjo dari Negara Republik Indonesia menurut perjanjian Renville.
  2. Sultan Hamid II dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat
  3. Ide Anak Agoeng Gde Agoeng dari Negara Indonesia Timur
  4. R. A. A. Tjakraningrat dari Negara Madura
  5. Mohammad Hanafiah dari Daerah Banjar
  6. Mohammad Jusuf Rasidi dari Bangka
  7. K.A. Mohammad Jusuf dari Belitung
  8. Muhran bin Haji Ali dari Dayak Besar
  9. Dr. R.V. Sudjito dari Jawa Tengah
  10. Raden Soedarmo dari Negara Jawa Timur
  11. M. Jamani dari Kalimantan Tenggara
  12. A.P. Sosronegoro dari Kalimantan Timur
  13. Mr. Djumhana Wiriatmadja dari Negara Pasundan
  14. Radja Mohammad dari Riau
  15. Abdul Malik dari Negara Sumatera Selatan
  16. Radja Kaliamsyah Sinaga dari Negara Sumatera Timur
comments | | Read More...

Mr. Syafruddin Prawiranegara

Mr. Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911 – meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.

Masa muda dan pendidikan

Tokoh yang lahir di Anyar Kidul yang memiliki nama kecil "Kuding", yang berasal dari kata Udin pada nama Syariffudin. Ia memiliki darah keturunan Sunda dari pihak ibu dan Sunda Minangkabau dari pihak ayah. Buyutnya dari pihak ayah, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Ia menikah dengan putri bangsawan Banten, melahirkan kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa, namun cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur.

Syafruddin menempuh pendidikan ELS pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO di Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandung pada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Magister Hukum).

Pra-kemerdekaan

Sebelum kemerdekaan, Syafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (1939-1940), petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta pegawai Departemen Keuangan Jepang.

Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

Pemerintah Darurat RI

Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948. Syafruddin menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI pada 1948.

Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.
Jabatan pemerintahan

Syafrudin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada tahun 1946, Menteri Keuangan yang pertama kali pada tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran pada tahun 1947. Pada saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran inilah terjadi Agresi Militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI.

Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada tahun 1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun 1949-1950. Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.

Syafruddin kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada tahun 1951. Sebelumnya ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian diubah menjadi Bank Sentral Indonesia.
Keterlibatan dalam PRRI

Pada awal tahun 1958, PRRI berdiri akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat. Syafruddin diangkat sebagai Presiden PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah.

Pada bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk PRRI.
comments | | Read More...

Blogger news

About

Blogroll

 
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Copyright © 2011. Mengubah Nasib . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger